BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sulawesi Tengah adalah salah
satu propinsi di
Kepulauan Sulawesi yang memiliki 3 perairan sekaligus dan hal ini tidak
dimiliki oleh provinsi-provinsi lainnya di Kepulauan Sulawesi,
perairan-perairan itu terdiri atas Teluk Tomini, Teluk Tolo dan Selat
Makassar/Laut Sulawesi. Jika di
pandang dari keberadaan 3 wilayah perairan tersebut maka seharusnya
Provinsi Sulawesi Tengah adalah termasuk daerah yang mengandalkan sumberdaya
hasil perikanan sebagai salah satu aset pendapatan daerah.
Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah pada Tahun 2010 melaporkan
bahwa hasil perikanan tangkap adalah 149,083,41 ton/thn yang terdiri atas beragam
jenis ikan diantaranya ikan pelagis besar seperti ikan tuna, ikan cakalang,
ikan bobara dan ikan pelagis kecil seperti ikan tongkol, ikan layang, ikan selar,
dan ikan sardin, sedangkan jenis ikan domersal terdiri atas ikan sunu, ikan kakap,
ikan tenggiri, dan ikan kerapu dan lain-lain.
Ikan merupakan salah
satu sumber makanan yang sangat dibutuhkan oleh manusia karena banyak
mengandung protein. Dengan kandungan protein dan air yang cukup tinggi, ikan
termasuk komoditi yang sangat mudah membusuk (highlyperishable). Maka dari itu, dalam era perdagangan bebas, mutu
dan konsistusi mutu produk harus dipenuhi oleh perusahaan yang memproduksi
olahan hasil perikanan (Afrianto
dan Liviawati, 1989).
Salah satu metode pengawetan ikan adalah dengan pengolahan ikan segar
menjadi ikan asin. Ikan asin merupakan hasil proses penggaraman dan pengeringan.
Rasa dagingnya yang asin, tetapi dapat pula dibuat rasa tawar sehingga ikan ini
sangat digemari oleh masyarakat. Beberapa jenis ikan yang biasa diawetkan
menjadi ikan asin adalah ikan kakap, tenggiri, tongkol, kembung, layang, teri,
petek, dan mujair (Djarijah. 1995)
Pada industri pengolahan
ikan asin di beberapa daerah di Indonesia, larutan formalin
digunakan sebagai bahan
tambahan dalam proses pembuatan ikan asin. Penggunaan formalin oleh para
pengolah bertujuan sebagai bahan pengawet dan penambah rendemen ikan asin yang
dihasilkan. Pemberian larutan formalin sudah dilarang berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor : 1168/MENKES/PER/X/1999 tanggal 4 Oktober 1999.
Pemerintah sulit mengambil tindakan terhadap para pengolah yang menggunakan formalin,
karena hingga saat ini belum ada alternatif selain formalin untuk mengawetkan
ikan asin.
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk.
Secara kimiawi mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air, sebagai bahan
pengawet biasanya ditambahkan metanol hingga 15%. Secara umum formalin
digunakan di laboratorium,
antara lain untuk pengawetan spesimen dan mayat. Formalin sering disalahgunakan untuk pengawetan industri
makanan. Hal ini sering ditemukan diskala rumah tangga, tidak terdaftar dan
tidak terpantau oleh instansi Departemen Kesehatan dan Balai Pengawasan Obat
dan Makanan (POM) setempat (Judarwanto, 2006). Selanjutnya Syam
(2007), mengemukakan formalin adalah racun yang bersifat karsinogen (Penyebab
Kanker) dan tidak ada level aman untuk formalin jika tertelan seberapapun
encernya. Dengan demikian formalin merupakan zat toksik dan sangat iritatif
untuk kulit dan mata serta bagi tubuh manusia (saluran pernapasan, mengganggu
fungsi hati, ginjal dan alat reproduksi).
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat
jelas dampak terhadap penggunaan
formalin yang sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen serta sering menjadi isu
di tengah-tengah masyarakat. Untuk mengetahui adanya formalin yang digunakan di berbagai
produk hasil perikanan, maka diperlukan suatu penelitian yang lebih mengacu
kepada monitoring penggunaan formalin pada ikan asin diberbagai wilayah yang
berbeda di Propinsi Sulawesi Tengah dengan mengambil sampel pada masing-masing
kabupaten yang memiliki potensi
pengolahan ikan asin yang banyak dikenal
oleh masyarakat, seperti Daerah
Pagimana yang dikenal dengan ikan asinnya yang sangat digemari oleh masyarakat
karena rasanya yang gurih dan tekstur daging yang baik sehingga beberapa daerah
banyak meminati, sedangkan Daerah Ampana mempunyai potensi ikan domersal yang memadai
sehingga masyarakat manfaatkan untuk pengolahan ikan asin, sedangkan Daerah
Poso dan Parigi Moutong masih memanfaatkan hasil olahan dari daerah pagimana
dan ampana untuk dijual kepasar-pasar tradisional yang ada di Daerah Poso dan Parigi
Moutong.
1.2 Tujuan dan
Kegunaan
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keberadaan penggunaan formalin pada ikan
asin dari berbagai wilayah di
Propinsi Sulawesi Tengah.
Sedangkan kegunaan
penelitian ini yaitu untuk memberikan informasi yang akurat kepada Dinas
Perikanan dan Kelautan dan instansi terkait juga kepada masyarakat selaku
konsumen mengenai keberadaan penggunaan formalin pada ikan asin dari berbagai
wilayah yang berbeda di Propinsi
Sulawesi Tengah.
1.3 Hipotesis
H0 “ Tidak terdapat
Penggunaan Formalin pada ikan asin pada beberapa wilayah yang berbeda di
Propinsi Sulawesi Tengah.
H1 “ Terdapat Penggunaan Formalin pada ikan asin
di beberapa wilayah yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA
2.1 Komposisi
Kimia Ikan Asin
Bahan baku
pembuatan ikan asin adalah ikan dan garam. Untuk mendapatkan ikan asin yang
berkualitas, bahan baku harus bermutu baik
ikannya harus segar dan garamnya adalah garam murni. Ukuran dan jenis ikan
sebaiknya seragam agar proses penetrasi (peresapan) garam dalam daging ikan
bisa sempurna (Djarijah, 1995).
Afrianto dan Liviawaty (1994),
mengatakan secara garis besar selama proses penggaraman terjadi penetrasi garam
ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya
perbedaan konsentrasi. Cairan ini dengan cepat akan melarutkan kristal garam
atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam
tubuh ikan, partikel garam memasuki tubuh ikan. Semakin lama kecepatan proses
pertukaran garam dan cairan tersebut semakin lambat dengan menurunnya
konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam di
dalam tubuh ikan. Ketika sudah terjadi keseimbangan antara konsentrasi garam di
luar dan di dalam tubuh ikan, maka pertukaran garam dan cairan tersebut akan
terhenti sama sekali. Pada saat itulah terjadi pengentalan cairan tubuh yang
masih tersisa dan penggumpalan protein (denaturasi) serta pengerutan sel-sel
tubuh ikan sehingga sifat dagingnya berubah.
Komponen yang biasa tercampur dalam garam murni adaalah MgCl2 (Magnesium
Klorida), CaCl2
(Kalsium Klorida), MgSO4
(Magnesium sulfat), CaSO4 (Kalsium
sulfat), lumpur dan lain-lain. Jika garam yang digunakan mengandung Mg (Magnesium)
dan Ca (Kalsium)
akan menghambat proses penetrasi garam kedalam daging ikan.
Air adalah merupakan komponen
terbanyak pada daging ikan asin, yaitu sekitar 80 % (Direktorat Gizi, 1981).
Proses penggaraman pada pengolahan ikan secara tradisional, mengakibatkan hilangnya
protein ikan yang dapat mencapai 5%, tergantung pada kadar garam dan lama
penggaraman (Opstvedt , 1988). Secara ringkas gambaran nilai nutrisi pada ikan
asin dapat di lihat pada Tabel 2 dibawah
ini.
Tabel 1.
Komposisi Kimia Ikan Asin
|
Komponen
|
Ikan Asin (%)
|
|
1. Protein
2. Lemak
3. Fosfor
4. Besi
5. Vitamin B1
|
42,00
1,50
0,30
0,002
0,01
|
Sumber : Direktorat Gizi (1981)
2.2 Deskripsi
Formalin
Formalin atau formaldehida
adalah bahan kimia yang digunakan sebagai pengawet. Sebenarnya fungsi formalin
adalah sebagai desinfektan namun oleh sebagian orang disalah gunakan untuk
mengawetkan ikan untuk mencegah kerugian. Formalin dapat berguna sebagai
desinfektan karena membunuh sebagian besar bakteri dan jamur. Hal ini juga
digunakan sebagai pengawet dalam vaksin, dimana formalin digunakan untuk
membunuh virus dan bakteri yang tidak diinginkan yang mungkin mencemari vaksin
selama produksi (Wikipedia, 2007).
Berikut adalah daftar dari pada kegunaan formalin sebagai berikut :
- Pembasmi
lalat dan serangga pengganggu lainnya.
- Bahan
pembuatan sutra
sintetis, zat pewarna, cermin,
kaca
- Pengeras
lapisan gelatin dan kertas
dalam dunia Fotografi.
- Bahan
pembuatan pupuk
dalam bentuk urea.
- Bahan
untuk pembuatan produk parfum.
- Bahan
pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku.
- Pencegah
korosi
untuk sumur minyak
- Dalam
konsentrasi yang sangat kecil (kurang dari 1%), Formalin digunakan sebagai
pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih barang rumah tangga, cairan
pencuci piring,
pelembut kulit,
perawatan sepatu, shampoo
mobil,
lilin,
dan pembersih karpet.
Formalin adalah nama dagang larutan formaldehid dalam air dengan kadar
30-40 %. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan,
yaitu dengan kadar formaldehidnya 40, 30, 20 dan 10 % serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram.
Larutan formalin ini tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Di
dalam formalin terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air. Biasanya
ditambahkan metanol hingga 15% sebagai pengawet. Senyawa kimia
formaldehida merupakan aldehida, bentuknya gas yang rumus kimianya H2CO
(Gambar 1) seperti dibawah ini.
.
Gambar 1.
Rumus Kimia Formaldehid
Formaldehid dapat terbentuk dari reaksi
methanol dan oksigen yang terjadi pada suhu 250 0C berdasarkan
persamaan kimia sebagai berikut :
2.3 Dampak
Formalin Bagi Tubuh Manusia
Formalin jika termakan,
dalam jangka pendek tidak menyebabkan keracunan, tetapi jika tertimbun di atas
ambang batas dapat mengganggu kesehatan. International Proggrame on Chemical
Safety menetapkan bahwa batas toleransi yang dapat diterima dalam tubuh maksimum
0,1 mg perliter (Harmoni, 2006). Bahaya formalin dalam jangka pendek (akut)
adalah apabila tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar,
sakit jika menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan,
sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang,
tidak sadar hingga koma. Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
hati, limpa, pankreas, susunan syaraf pusat dan ginjal. Bahaya jangka panjang
adalah iritasi saluran pernafasan, muntah-muntah dan kepala pusing, rasa
terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada
(Republika, 2005). Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat
mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah) dan
haematomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian. Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan
kematian dalam jangka waktu 3 jam.
Menurut Direktorat
Pemasaran Dalam Negeri (2006) mengatakan
bahwa beberapa peraturan yang telah melarang penggunaan zat berbahaya termasuk
formalin sebagai bahan pengawet adalah sebagai berikut :
-
UU Perikanan No. 31 tahun 2004 - Pelaku penggunaan bahan
kimia berbahaya pada makanan diancam kurungan 6 tahun penjara atau denda Rp 1,5
miliar.
-
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen –
Pengguna Bahan terlarang sebagai bahan tambahan makanan dikenai ancaman hukuman
pidana penjara paling lama 5 tahun serta denda paling banyak 2 miliar.
-
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan – Pelaku
Penggunaan bahan yang dilarang dipakai sebagai bahan tambahan pangan seperti
formalin, diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp 600 juta.
-
Kepmenkes No 722 tahun 88 tentang bahan tambahan makanan.
-
Keputusan Menteri Kesehatan No. 472/1996 tentang
Pengamanan Bahan Berbahaya bagi kesehatan.
- Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 254/2000 tentang Tata Niaga Impor dan
Peradaran Bahan Berbahaya Tertentu.
Efek pada kesehatan manusia langsung terlihat : seperti iritasi,
alergi, kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut dan
pusing, efek ini terlihat setelah terkena dalam jangka waktu yang lama dan berulang :
iritasi kemungkin parah, mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal,
pankreas, system saraf pusat, menstruasi dan pada hewan percobaan dapat
menyebabkan kanker sedangkan pada manusia diduga
bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) akibat mengkonsumsi bahan makanan yang
mengandung formalin.
2.4 Penggunaan
Formalin Pada Beberapa Jenis Ikan
Berikut ini
adalah Rekapitulasi
Hasil Uji Sampel Pangan yang diduga Mengandung
Formalin “Sampling” Bulan November – Desember 2007 di Pasar Tradisional dan
Supermarket di Jabotabek.
Tabel 2. Hasil uji sampel yang mengandung formalin
|
No
|
Jenis Sampel
|
Jumlah Sampel
|
Positif Formalin
|
Negatif
|
|
1
|
Mie Basah
|
23
|
15
|
8
|
|
2
|
Tahu
|
41
|
19
|
22
|
|
3
|
Ikan Asin
|
34
|
22
|
12
|
|
Jumlah
|
98
|
56
|
42
|
|
Bila melihat ambang
batas toleransi, ikan asin yang diteliti Balai Besar POM, sebelum dicuci
mempunyai kandungan formalin 6,77 ppm. Setelah dicuci tinggal 5,62 ppm atau
5,62 mg formalin dalam setiap 1 kg ikan sotong. Berdasarkan data tersebut,
tubuh kemungkinan masih bisa mentoleransi kandungan formaldehida bila dalam
satu hari kita memakan ikan asin dalam jumlah sekitar 2,5 kg. Dengan catatan,
asupan formalin hanya dari ikan asin.
Ciri
kedua adalah ikan yang diberi formalin tidak akan
di datangi dan dikerubungi oleh lalat. Lalat
memiliki penciuman yang tajam jika ada hewan yang mati maka akan langsung datang menghampiri hewan yang mati
tersebut. Jika ayam dan ikan diberi formalin maka lalat tidak akan datang menghampirinya. Tips ini
dapat kita pakai saat hendak
membeli ikan atau ayam di pasar.
Adapun Ciri-ciri
ikan Asin yang mengandung formalin dan Ikan Asin yang tanpa
formalin dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Perbedaan ikan asin yang mengandung
formalin dengan yang tidak mengandung
formalin
|
No
|
Ikan
Asin Berformalin
|
Ikan
Asin Tanpa Formalin
|
|
1
2
3
4
|
Tidak
rusak sampai lebih dari sebulan pada suhu kamar (25 0C).
Warna
bersih dan cerah.
Tidak
berbau khas ikan asin dan tidak mudah hancur.
Tidak
dihinggapi lalat bila diletakan di tempat terbuka.
|
Warna
ikan asin ada yang kecokelatan.
Aroma
masih khas ikan asin
Dagingnya
rentan / mudah hancur
Dapat
dihinggapi lalat
|
Sumber : Balai POM, www.umesc.usgs.gov.
2.5 Analisis Mutu Organoleptik Ikan
Asin
Bakteri yang mencemari ikan asin
tidak semuanya bersifat patogen, tetapi hanya bersifat sebagai perusak saja.
Bakteri inilah yang menghasilkan substansi-substansi yang dapat mempengaruhi
kenampakan, bau, rasa dan konsistensi yang pada akhirnya membuat bahan pangan
tersebut tidak layak dikonsumsi manusia. Menurut BSN (1992), batasan yang
ditetapkan dalam SNI 01-2708-1992 untuk nilai organoleptik ikan asin adalah
minimal 7. Untuk melihat mutu ikan asin secara cepat dan murah adalah dengan
uji organoleptik. Uji organoleptik ini menggunakan panelis atau penguji yang
telah terlatih dengan baik. Para panelis akan memberikan skor/nilai pada faktor
kenampakan, bau, rasa dan konsistensi. Nilai yang makin tinggi menunjukkan mutu
yang makin bagus. Skor yang dipakai adalah dari angka 1 sampai 9. Kesulitan dalam
cara ini terletak pada pemberian nilai, perbedaan yang kecil sering tidak kelihatan.
2.5.1. Organoleptik Kenampakan
Kenampakan yang agak kusam adalah
disebabkan oleh garam yang menempel pada permukaan ikan asin yang biasanya
menimbulkan warna keputihan. Pengaruh panas selama pengeringan dapat
menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan (Maillard) antara senyawa
amino dengan gula pereduksi. Gula pereduksi pada ikan merupakan hasil pemecahan
glikogen sesaat setelah ikan mati. Reaksi antara asam amino dan gula pereduksi
akan membentuk melanoidin, suatu polimer berwarna coklat yang dapat menurunkan
nilai kenampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein,
peptida dan asam amino dengan hasil dekomposisi lemak (Lee, 1983). Reaksi Maillard
ini mudah terjadi pada bahan pangan yang berkadar air lebih besar dari 2%
(Jay, 1992). Indriati et al., (1991) menemukan bahwa reaksi pencoklatan
ikan asin di Indonesia kebanyakan terjadi pada produk berkadar garam 7,70% –
16,90% dengan nilai aktifitas air (Aw) antara 0,70 – 0,78. Untuk mempertahankan
mutu ikan asin, hal-hal tersebut di atas harus menjadi pertimbangan di dalam
melakukan proses pengolahan.
2.5.2. Organoleptik Bau
Lemak dan protein yang dipecah
oleh bakteri perusak yang mencemari ikan asin akan menghasilkan bau yang tidak diinginkan.
Bau ini berasal dari metebolit-metabolit sederhana yang dihasilkan oleh
bakteri. Menurut Bligh et al., (1988), pengeringan dapat mendorong
terjadinya oksidasi dan ketengikan pada lemak sehingga dapat menurunkan nilai
organoleptik bau.
2.5.3. Organoleptik Rasa
Komponen cita rasa pada ikan asin
juga dipengaruhi oleh peristiwa perombakan senyawa makromolekul yang
menghasilkan zat-zat yang tidak diinginkan dalam bahan pangan.
2.5.4. Organoleptik Konsistensi
Konsistensi suatu bahan pangan
erat kaitannya dengan kandungan air yang ada dalam bahan pangan tersebut.
Semakin kecil kandungan airnya maka bahan pangan akan semakin rapuh (Winarno,
1991). Ikan asin yang terlalu keras
kemungkinan disebabkan terlalu kering saat menjemur ikan asin. Tindakan
pengemasan pada produk ikan teri asin kering adalah merupakan suatu usaha
perlindungan terhadap pengaruh kelembaban udara di ruang penyimpanan. Jika
tidak dikemas, udara yang lembab akan dapat meningkatkan kadar air dengan cepat
dan ikan asin akan menjadi lembek. Penambahan kadar air akan menurunkan nilai
konsistensi.
2.5.5. Kapang
Kapang
yang sering tumbuh pada kondisi aktifitas air rendah, selain menurunkan nilai
estetika, juga potensial untuk menghasilkan racun. Menurut
penelitian Wheeler et al. dan Santoso et al.
dalam Heruwati (2002), jenis kapang yang dominan pada ikan asin adalah Polypaecilum
pisce dan Aspergillus niger , sedangkan jenis kapang xerofilik yang
ditemukan meliputi A. awamori, A. carbonarius, A.
glaucus, A. tamarii dan Eurotium glaucus . Menurut Doe dan
Olley (1990), kapang Polypaecilum pisce yang ditemukan dari produk ikan
asin asal Indonesia dapat tumbuh optimum pada suhu 30ºC dan aktifitas air 0,90
– 0,96.
Berikut
adalah parameter pengujian organoleptik pada ikan asin dapat disajikan pada
Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Parameter pengujian organoleptik ikan asin
|
PARAMETER
|
SPESIFIKASI
|
NILAI
|
|
KENAMPAKAN
|
- Utuh, bersih, rapi, bercahaya menurut jenis.
- Utuh, bersih, kurang rapi, bercahaya menurut
jenis.
- Utuh, bersih agak kusam.
- Utuh, kurang bersih, agak kusam.
- Sedikit rusak fisik, kurang bersih, bbrp.bag.
berkarat.
- Sedikit rusak fisik, warna sudah berubah.
- Sebagian hancur, kotor.
- Hancur, kotor sekali, warna berubah dr.spesifik
jenis.
|
9
8
7
6
5
4
3
1
|
|
BAU
|
- Harum,
spesifik jenis, tanpa bau tambahan.
- Kurang
harum, tanpa bau tambahan.
- Hampir
netral, sedikit bau tambahan.
- Netral,
sedikit bau tambahan.
- Bau
tambahan mengganggu, tdk.busuk, agak tengik
- Tengik,
agak apek, bau amoniak.
- Tidak
enak, agak busuk, amoniak keras
- Busuk
|
9
8
7
6
5
4
3
1
|
|
RASA
|
- Sangat
enak sekali,spesifik jenis,tanpa rasa tambahan.
- Sangat
enak, spesifik jenis, tanpa rasa tambahan.
- Enak,
spesifik jenis, sedikit rasa tambahan.
- Agak enak,
spesifik jenis, sedikit rasa tambahan.
- Biasa,
sedikit rasa tambahan mengganggu.
- Kurang
enak, sedikit rasa tambahan mengganggu.
- Tidak enak,
agak busuk.
- Sangat
tidak enak, busuk.
|
9
8
7
6
5
4
3
1
|
|
KONSISTENSI
|
-Padat,
kompak, lentur, cukup kering.
-Padat,
kompak, lentur, kurang kering.
-Terlalu
keras, tidak rapuh.
-Padat,
tidak rapuh.
-Lunak,
basah, tidak mudah terurai.
-Kering,
rapuh, mudah terurai.
-Lunak,
rapuh, mudah terurai.
-Lunak,
basah, mudah terurai.
-Basah,
berair, terurai jelas
|
9
8
7
6
5
4
3
2
1
|
|
KAPANG
|
- Tidak
ada/tidak tampak.
- Ada/tampak
|
9
1
|
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat
Penelitian
Penelitian ini di lakukan pada bulan Mei – Juni 2012.
Penelitian ini di laksanakan di Laboratorium STPL Madani Palu dan Laboratorium Pembinaan dan
Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)
Palu, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah.
3.2 Alat dan
Bahan
Alat yang digunakan Test Tubes, Glass
Wear, Bag Plastik, Tabung Reaksi, Centrifuge, Stomacher, Timbangan analitik, Sendok, dan Peralatan
Uji Organoleptik.
Bahan yang digunakan meliputi ikan uji, yaitu ikan asin jenis ikan kakap merah (Lutjanus altifrontalis), dan Ikan Kerapu (Ephinephelus spp) wilayah Pagimana, Ikan
Lolosi (Caesio spp), dan ikan kakap
merah (Lunjanus altifrontalis)
wilayah Ampana, Ikan Kakatua (Scars spp) dan ikan kerapu (Ephinephelus spp) wilayah Poso, sedangkan ikan lolosi
(Caesio spp) dan ikan kaka merah
(Lutjanus altifrontalis) wilayah Parigi Moutong dari berbagai wilayah di Propinsi
Sulawesi Tengah. Bahan kimia yang digunakan adalah Reagent Fo-1 dan Reagent Fo-2.
3.3 Prosedur Pengambilan
Sampel
Ikan asin
yang diperoleh melalui pembelian di pasar dari beberapa wilayah di Propinsi Sulawesi Tengah yaitu
pasar Pagimana, pasar Ampana, pasar Poso, dan
pasar Parigi Moutong untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan dimana dalam satu pasar terdapat dua
sampel yang berbeda yaitu sampel A 1 dan A 2, Sampel B 1 dan B2, C 1 dan C 2,
dan D 1 dan D 2. Untuk penyimpanan sampel harus dalam keadaan yang
terkontrol dimana ikan
asin (sampel) yang telah diberi label untuk masing-masing wilayah disimpan
kedalam satu kemasan dos untuk menghindari kerusakan sampel dan kontaminasi dari
mikroba. Sampel
yang diambil kemudian dihaluskan secara terpisah untuk setiap wilayah dan
kemudian diberi kode seperti
di bawah ini :
Perlakuan A : Wilayah Pagimana
Perlakuan B : Wilayah Ampana
Perlakuan C : Wilayah Poso
Perlakuan D : Wilayah Parigi Moutong
3.4 Metode dan
Analisa
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode survey dan dianalisis secara deskriptif.
Untuk mengetahui keberadaan formalin
pada ikan asin (sampel), maka dilakukan pengukuran dan analisis Formaldehyde
Test. Jika terdapat formalin pada ikan
asin (sampel), maka hasil pengujian tersebut akan dibandingkan dengan Colour
Card untuk menentukan kandungan formalin yang terdapat pada ikan asin (sampel).
Dapat dilihat pada Gambar
2 dibawah ini.
Gambar 2.
Colour Card untuk penentuan kadar formalin
3.5 Prosedur
Penelitian
Pengujian
formalin pada penelitian ini dilakukan dengan dua metode.
3.5.1 Formaldehyde
Test 1
1. Ikan asin diambil daging dan kulitnya
kemudian dilakukan penimbangan sebanyak 25 gram, selanjutnya dimasukan kedalam
bag plastik (plastik sampel) yang
kemudian ditambahkan aquades 100 ml dan kemudian dihaluskan dengan stomacher.
2. Diambil
sampel 10 ml kemudian dimasukan kedalam tabung reaksi dan selanjutnya dimasukan
lagi ke dalam Confeyer selama kurang lebih 30 menit.
3. Cairan
(sampel) diambil sebanyak 5 ml dan dimasukan kedalam test tube.
4. Sebanyak 5
tetes Reagent Fo-1 dimasukan kedalam test tube dan dibiarkan beberapa saat.
5. Selanjutnya
dilakukan penambahan 1 mikrospoon Reagent Fo-2, kemudian ditutup rapat dan
dikocok-kocok selama 1 menit sehingga pereaksi tercampur. Kemudian dibiarkan
selama 5 menit.
6. Setelah 5
menit, cocokan warna cairan sampel dengan colour card sehingga dapat ditentukan
jumlah formalin yang terkandung pada ikan asin (sampel). Dapat di lihat pada Lampiran 4.
3.5.2 Formaldehyde Test 2
1. Ikan asin diambil daging serta kulitnya
dan dihaluskan kemudian dilakukan penimbangan sebanyak 5 gram,
selanjutnya dimasukan kedalam bag plastik (plastik sampel).
2. Sampel diambil
sebanyak 5 ml dan dimasukan kedalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan aquades sebanyak 10 ml dan di kocok-kocok sampai
sampel dan aquades benar-benar tercampur.
4. Sebanyak 10 tetes Reagent Fo-1
dimasukan kedalam tabung
rekasi dan dibiarkan beberapa saat.
5. Selanjutnya dimasukan kertas indikator formalin
kedalam masing-masing tabung reaksi tersebut secara bersamaan kemudian
dibiarkan selama 1 menit.
6. Setelah 1 menit, cocokan
warna cairan sampel dengan colour card sehingga dapat ditentukan jumlah
formalin yang terkandung pada ikan asin (sampel). Dapat di lihat pada Lampiran 5.
3.5.3 Prosedur Pengujian Organoleptik
Uji organoleptik bertujuan untuk
mengetahui mutu ikan asin dari segi kenampakan, bau/aroma, rasa,
tekstur/konsistensi, yang merupakan penerimaan umum dari panelis (BSN 1991),
Uji ini dilakukan dengan menggunakan 6 panelis terlatih di Laboratorium
Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), Palu dengan menggunakan
metode hedonik (memakai lembar penilaian ) yang memiliki skala 1 – 9 ( seperti
Lampiran 1).
Adapun
prosedur pengujian organoleptik pada ikan asin antara lain :
1. Pengujian
dilakukan secara individual dalam booth yang disiapkan.
2. Penilaian
berdasarkan kriteria mutu dan deskripsi yang telah ditetapkan pada score sheet
(lembar penilaian).
3. Setiap
kriteria dan deskripsi telah diberi skor tertentu.
4. Hasil penilaian
setiap contoh yang telah diberi kode ditulis pada formulir yang telah
disiapkan.
5. Hasil
penilaian panelis kemudian ditabulasi pada daftar yang telah disiapkan dan
ditentukan kelas mutu dari setiap kelompok ikan yang diuji, dengan
membandingkan total skor mutu dengan skor dan persyaratan mutu ikan yang telah
ditetapkan.
6. Hasil
tersebut selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
Untuk mendapatkan nilai
rata-rata penilaian pengujian organoleptik pada ikan asin baik dari aspk
kenampakan, bau, rasa, konsistensi dan kapang dapat digunakan rumus dibawah ini
:
Rumus
:
Perhitungan Pengujian
Mutu Penilaian Organoleptik (SNI
0123456-2006)
=
=
Keterangan
:
n = Banyaknya panelis
x = Nilai mutu rata-rata
xi = Nilai mutu dari panelis ke i, dimana
i = 1 sampai n
= Keragaman nilai mutu
1.96 = Koefisien standar deviasi pada taraf
95 %
Sumber : Dinas
Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tengah (LPPMHP) Palu
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengujian Formalin Pada Ikan Asin
Hasil pengamatan pengujian
formalin dari berbagai Wilayah di Propinsi Sulawesi Tengah.
4.1.1 Analisa Pengujian Formalin Di
Pasar Pagimana, Ampana, Poso dan Parigi Moutong
Hasil analisis pengujian
formalin di pasar Pagimana, Ampana, Poso dan Parigi Moutong dapat di lihat pada
Tabel 5 dibawah ini.
Tabel
5. Hasil uji formalin pada ikan asin pada beberapa wilayah di Propinsi Sulawesi Tengah
|
No
|
Jenis Ikan
|
Kode Sampel
|
Hasil Pengujian
|
|
|
Uji 1
|
Uji 2
|
|||
|
1
2
3
4
5
6
7
8
|
Ikan
Kakap Merah
Ikan
Kerapu
Ikan
Lolosi
Ikan
Kakap Merah
Ikan
Kerapu
Ikan
Kakak Tua
Ikan
Kakap Merah
Lolosi
|
A 1
A 2
B 1
B 2
C 1
C 2
D 1
D 2
|
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
|
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
|
Hasil uji sampel
berdasarkan tabel diatas bahwa Wilayah Pagimana Ampana, Poso dan Parigi Moutong
yang dilakukan dengan menggunakan dua metode pengujian tidak di temukan ikan
asin yang menggunakan formalin.
Dalam pengujian sampel
ikan asin ini dilakukan dengan menggunakan dua metode masing-masing melalui uji
sampel dengan konsentrasi Formaldehyd 10 – 100 mg/l untuk uji sampel pertama
yang dilakukan di Laboratorium STPL Palu dan
0,1 - 1,5 mg/luntuk uji sampel kedua dilakukan di Dinas Keluatan dan
Perikanan Propinsi Sulawesi Tengah.
Berdasarkan hasil uji
sampel dari pasar Pagimana, Ampana, Poso dan Parigi Moutong bahwa tidak di
dapatkan ikan asin yang positif mengandung formalin, hal ini dikarenakan dari
sebagian besar para produsen banyak mengetahui alternatif untuk menghindari
kerusakan pada ikan asin seperti dengan melarutkan ikan asin kedalam larutan garam
dingin sehingga dapat mempertahakan daya awet dari pada ikan asin tersebut.
Dari beberapa wilayah yang
ada di Propinsi Sulawesi Tengah tepatnya di daerah Pagimana, Ampana, Poso, dan
parigi Moutong tidak di temukan adanya penggunaan bahan berbahaya tersebut
(formalin). Selain itu hal yang paling mendasar adalah formalin tidak bisa diperdagangakan secara bebas harus
terdapat izin dari pihak yang bersangkutan seperti izin dari pihak rumah sakit
dan pemerintah terkait dalam hal ini balai POM, dan Dinas Kelautan dan
Perikanan.
Hal ini dikarenakan jangan
sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan yang sengaja menyimpan formalin
kebahan makanan hanya untuk menambah daya awet dari pada ikan dan sebagai bahan
tambahan untuk mengambil keuntungan besar, padahal pemerintah telah mengeluarkan
peraturan untuk formalin. Antara lain di Undang-undang (UU) No 7/1996 tentang
Pangan, Peraturan Menteri Kesehatan No 472/1996 Tentang Pengamanan Bahan
Berbahaya Bagi Kesehatan, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No 254/2000 Tentang Tata Niaga Impor dan Peredaran Bahan Berbahaya Tertentu.
Didukung pula oleh UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan
ancaman berat bagi penyalahgunaan formalin.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dari beberapa
penjual yang ada di daerah tersebut hampir semua para penjual mengolah ikan
asin dengan menggunakan larutan garam sebagai mediasi sedangkan ada beberapa
penjual (produsen) mengolah ikan segar untuk menjadi produk ikan asin dengan
menggunakan garam kering sebagai media utama untuk pembuatan produk ikan asin
menurut (Afrianto dan Liviawaty, 1989; Moeljanto,1982), Penggaraman ikan dapat
dilakukan dengan berbagai cara yaitu :
1) Penggaraman Kering (Dry Salting)
Penggaraman kering dapat
digunakan baik untuk ikan yang berukuran besar maupun kecil. Ikan disusun dalam
wadah atau tempat kedap air dan digarami dengan garam kristal. Ikan disusun
berlapis-lapis berselang-seling dengan garam. Lapisan garam akan menyerap
keluar cairan di dalam tubuh ikan, sehingga kristal garam berubah menjadi
larutan garam yang dapat merendam seluruh lapisan ikan.
2) Penggaraman Basah (Wet Salting)
Proses penggaraman dengan sistem
ini menggunakan larutan garam sebagai media untuk merendam ikan. Larutan garam
akan mengisap cairan tubuh ikan (sehingga konsentrasinya menurun) dan ion-ion
garam akan segera masuk ke dalam tubuh ikan.
3) Kench Salting
Penggaraman ikan dilakukan dengan
garam kering dan ditumpuk dalam wadah yang tidak kedap air, sehingga larutan
yang terbentuk tidak tertampung. Untuk mencegah supaya ikan tidak dikerumuni
lalat, hendaknya seluruh permukaan ikan ditutup dengan lapisan garam.
4.2 Pengujian Organoleptik
Hasil uji organoleptik pada sampel ikan asin dari berbagai
wilayah yang berbeda di Propinsi Sulawesi Tengah dapat dilihat pada Tabel .
Tabel
6. Hasil Uji Organoleptik sampel ikan asin dari berbagai wilayah di Propinsi
Sulawesi Tengah
|
Penjual
|
Wilayah Pasar
|
|||
|
A
|
B
|
C
|
D
|
|
|
1
2
|
6.0
5.4
|
5.43
5.0
|
5.03
5.03
|
5.43
5.4
|
|
Jumlah
|
11.4
|
10.43
|
10.06
|
10.83
|
|
Rata-rata
|
6.0
|
5.0
|
5.0
|
5.4
|
Ket.
A.
Wilayah
Pagimana
B.
Wilayah
Ampana
C.
Poso
D.
Parigi
Moutong
Dari Tabel di atas dapat di lihat bahwa sampel ikan asin
dari berbagai wilayah di Propinsi Sulawesi Tengah dengan mengambil
masing-masing 2 sampel dari daerah tersebut dan kemudian dilakukan pengujian
organoleptik, hasil penelitian diperoleh data yang menunjukan bahwa nilai
rata-rata dari sampel A adalah 6.0, sampel B (5.0), sampel C (5.0) dan sampel D
yaitu 5.4. Nilai ini pada beberapa spesifikasi untuk sampel Pagimana yaitu
utuh, agak kusam dan bersih, sedangkan
sampel B sampai D rata-rata spesifikasi organoleptik yaitu sedikit rusak, tidak
busuk rasa yang biasa dan agak lunak (Lampiran 1).
Pada penelitian sampel A (Pagimana) dapat disimpulkan
bahwa nilai kriteria ikan asin yaitu 6.0 angka ini hampir mendekati angka 7
yang sesuai dengan (BSN, 1992) tetapi belum memenuhi kriteria standar ikan asin
yang ditetapkan, sedangkan untuk sampel B sampai D yaitu 5.0 sampai 5.4 tidak
memenuhi kriteria ikan asin hal ini disesuaikan oleh pernyataan Badan
Standarisasi Nasional (BSN,1992), yang menyatakan bahwa batasan yang ditetapkan
dalam SNI 01-2708-1992 untuk nilai organoleptik ikan asin kering adalah minimal
7.
Jadi produk penelitian ikan asin
ini untuk sampel B sampai D tidak memenuhi standar kriteria mutu ikan asin yang
diinginkan. Hal ini dikarenakan sebagian besar dipengaruhi oleh mikroba.
Menurut Afrianto dan Liviawaty (1994), kerusakan yang sering terjadi pada ikan
asin adalah kerusakan mikrobiologis. Kerusakan pada ikan asin dapat ditimbulkan
oleh bakteri halofilik yang mampu mengubah tekstur maupun rupa. Selain itu lama
penyimpanan juga dapat mempengaruhi produk ikan asin olehnya itu tindakan
pengemasan pada produk ikan asin kering adalah merupakan suatu usaha
perlindungan terhadap pengaruh kelembaban udara di ruang penyimpanan. Jika
tidak dikemas, udara yang lembab akan dapat meningkatkan kadar air dengan cepat
dan ikan asin akan menjadi lembek.
Untuk lebih menjelaskan mengenai nilai
pengujian organoleptik pada sampel ikan asin dari berbagai wilayah di Propinsi
Sulawesi Tengah dapat di lihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Pagimana Ampana Poso Parigi Moutong
Gambar 3. Rata-rata nilai uji organoleptik
ikan asin dari berbagai wilayah
yang berbeda di Propinsi Sulawesi Tengah
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisa data dan pembahasan di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Tidak
ditemukan sampel ikan asin yang positif teridentifikasi adanya kandungan
formalin yang berasal dari pasar Pagimana, Ampana, Poso dan pasar Parigi Moutong.
2.
Beberapa
penjual yang ada di daerah tersebut hampir semua mengolah ikan asin dengan
menggunakan larutan garam sebagai mediasi sedangkan ada beberapa penjual
(produsen) mengolah ikan segar untuk menjadi ikan asin dengan menggunakan garam
kering sebagai media utama untuk pembuatan produk ikan asin
3.
Hasil
penelitian diperoleh data yang menunjukan bahwa nilai rata-rata dari sampel A
adalah 7.0, sampel B (5.0), sampel C (4.5) dan sampel D yaitu 5.0. Nilai ini
pada beberapa spesifikasi untuk sampel Pagimana yaitu utuh, agak kusam dan bersih, sedangkan sampel B sampai D rata-rata
spesifikasi organoleptik yaitu sedikit rusak, tidak busuk rasa yang biasa dan
agak lunak.
4.
Hasil
penelitian mengenai penggunaan formalin pada ikan asin dari berbagai wilayah di
Propinsi Sulawesi Tengah dapat disimpulkan bahwa sampel ikan asin yang berasal
dari daerah Pagimana, Ampana, Poso dan Parigi Moutong masih sangat aman untuk
dikonsumsi oleh konsumen. hal ini dikarenakan dari beberapa kali dilakukan
penelitian dengan menggunakan beberapa metode tidak ditemukan ikan asin yang
mengandung formalin dari beberapa daerah tersebut.
5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan
untuk memastikan kembali keberadaan formalin dengan menggunakan beberapa metode
yang berbeda dan dengan jangka waktu yang sangat efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto E, Lifiawaty
E. 1989. Pengawetan Dan Pengolahan Ikan.
Kanisius. Yogyakarta.
Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 1994. Pengawetan dan
Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Badan
Standarisasi Nasional (BSN). 1991. Metode Pengujian Mikrobiologi Produk Perikanan
: Metode Pengujian Staphylococcus aureus (SNI 01-2338). Balai Bimbingan
dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Ditjen Perikanan, Jakarta.
_________. 1992. Standar Nasional Indodesia Ikan Teri Asin Kering (SNI
01-
2708- 1992). Balai
Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Ditjen Perikanan, Jakarta.
Bligh, E.G.,
S.J. Shaw, and A.D. Woyewoda. 1988. Effects of Drying and Smoking on Lipids
of Fish in J.R. Burt (Ed.) Fish Smoking and Drying : The Effect of Smoking
and Drying on The Nutritional Properties of Fish. Elsevier Applied Science,
London.
Direktorat Pemasaran Dalam Negeri. 2006. Ikan Asin. Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan.
Djarijah, A. 1995. Ikan Asin. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Doe, P.E. dan
J. Olley. 1990. Drying and Dried Products in Z.E. Sikorski (Ed.) Sea Food:
Resources, Nutritional Composition, and Preservation . CRC Press,
Inc., Florida.
Harmoni,
D. 2006. Seluk Beluk Formalin. www.hd.co.id
Heruwati, E.S.
2002. Pengolahan Ikan secara Tradisional : Prospek dan Peluang Pengembangan,
Jurnal Litbang Pertanian 21 (3) : 92-99.
Indriati, N.,
Tazwir dan E.S. Heruwati. 1991. Penyebab Kerusakan pada Ikan Asin, Pengecer
dan Grosir di Jakarta, Jurnal Penelitian Pascapanen Perikanan 71: 49-55.
Jay, J.M. 1992. Modern Food Microbiology. Fourth Edition. Van
Nostrand
Reinhold, New York.
Judarwanto, W. 2006. Pengaruh Formalin Bagi Sistem Tubuh. URL
:
Lee, F.A. 1983. Basic Food Chemistry. Second Edition. The AVI
Publishing
Company, Inc., Connecticut.
Moeljanto.
1982. Penanganan Ikan Segar. PT. Penebar Swadaya, Jakatra.
Opstvedt, J.
1988. Influence of Drying and Smoking on Protein Quality in J.R. Burt (Ed.)
Fish Smoking and Drying : The Effect of Smoking and Drying on The Nutritional
Properties of Fish. Elsevier Applied Science, London. Pelczar, M.J. dan
E.C.S. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Penerbit UI
Pajaw,
H. F. G. Ijong. 1996. Penerapan HACCP
Dala Pengawasan Mutu Produk Perikanan. Berita FAPERIK. Unstrat no.2 Volume
4. Manado.
Republika.
2005. Perusahaan Tahu Takwa Poo di Kediri Berencana Gugat Balai POM. http://www.republika.co.id
Syam. A.F. 2007. Dampak Buruk Formalin Pada Makanan
di Indonesia.
Widyaningsih
DT dan SM Erni. 2006 . Formalin. Surabaya
Penerbit
Trubus Agrisarana.
Wikipedia. 2007. Formaldehida. URL: http//id.wikipedia.org/wiki.formaldehida
Winarno, F.G.
dan S. Fardiaz. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 3.
Dokumentasi Penelitian pengujian sampel ikan asin dengan 2 metode
1. Sampel Ikan Asin
Kering 2. Proses pengulekan sampel
3.
Sampel yang telah diberi kode 4.
Proses penimbangan sampel
5.
Pemasukan sampel kedalam
6. Pemasukan aquades kedalam
Tabung reaksi sampel
7.
Pemasukan Reagen Fo 1 8. Pengocokan sampel
9.
Pencocokan sampel dg colour card 10.
Colour card
11. Organoleptik 12. Proses penimbangan
13. Proses penimbangan 14. Proses pengahuncuran
sampel
15.Pencampuran sampel 16.
Pemasukan reagen Fo1 dan
Fo 2
17. Hasil deteksi sampel
Lampiran
4. Alur Proses Formaldehyde
Test
Metode 1.
|
|
|
Ikan Asin
|
|
Pengambilan daging dan kulit sebanyak 25 gr
|
|
Sampel dimasukan kedalam bag plastik
|
|
Penghalusan dengan stomacher
|
|
Tambahkan aquades 100 ml
|
|
Diambil
10 ml sampel cair dimasukan kedalam tabung reaksi
|
|
Tabung reaksi dimasukan kedalam confeyer (30
menit)
|
|
dimasukan cairan sampel sebanyak 5 ml kedalam
test tube
|
|
Ikan Asin (sampel)
|
|
Ditambahkan 5 tetes Reagent Fo-1
|
|
Dikocok selama 1 menit sehingga pereaksi
tercampur
|
|
Ditambahkan 1 mikrospoon Reagent Fo-2
|
|
Setelah 5 menit Cocokan dengan colour card
|
Lampiran
5. Alur Proses Formaldehyde
Test
Metode 2.
|
|
|
Ikan asin
|
|
Pengambilan
daging dan kulit 5 gr
|
|
Sampel dimasukan kedalam tabung reaksi
|
|
Tambahkan aquades
10 ml
|
|
Pengocokan sampel
hinggah tercapur merata
|
|
Dimasukan Reagent
Fo-1 sebanyak 10 tetes
|
|
Masukan kertas
indikator kedalam tabung reaksi selama 1 menit
|
|
Setelah 1 menit
cocokan dengan colour card
|
RIWAYAT HIDUP
Menamatkan
Sekolah Dasar pada Tahun 1997 di Sekolah Dasar Negri 1 Petapa Kecamatan Parigi
Tengah Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah, menamatkan Sekolah
Menengah Pertama Tahun 2003 di Sekolah Menengah Pertama SMP Negeri 1 Parigi Kecamatan Parigi
Kota Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah dan kemudian melanjutkan pada
Sekolah Menengah Kejuruan SMK Negeri 1 Parigi
Kecamatan Parigi Kabupaten Parigi
Moutong Propinsi Sulawesi Tengah. Pada Tahun 2008
terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPL) Madani Palu, pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan (THP). Pengalaman Internal Organisasi yaitu Pengurus Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan
(HIMATHP-STPL)
Palu, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2009-2010, dan sebagai
pendamping pengurus Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) periode 2011-2012.
Sedangkan External Organisasi pernah menjabat sebagai Ketua Komisariat STPL
Madani Palu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu Periode 2011-2012 dan kemudian berlembaga sebagai Anggota Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (HIMAPIKANI).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar